Minggu, 22 Mei 2016

bagaimana enaknya ibu saja, lah…

Ibu saya amat-sangat hobi-sekali dipijat. Koleksi “bekas” tukang pijatnya banyak. Sebagian ada yang “diberhentikan” karena katanya sudah terlalu tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan yang lain “diberhentikan” karena memang pijatannya dirasa kurang enak.


Beberapa waktu ke belakang ibu saya juga punya langganan tukang pijat tuna netra yang biasa dipanggil ke rumah. Tapi yaitu, kemarin-kemarin ini ternyata tukang pijat yang datang ke rumah kok sudah ganti lagi, seorang ibu-ibu, tuna netra juga, yang katanya dia asli Yogyakarta dan terpaksa hijrah ke kota kami setelah gempa beberapa waktu lalu yang menghancurkan rumahnya. Saat itu saya biarkan saja, bukan hal yang aneh kalau misalnya ibu tiba-tiba “menggaet” tukang pijat baru sebagai langganannya.

Tapi selidik punya selidik, alasan ibu saya “memberhentikan” tukang pijat yang sebelumnya, kali ini ternyata cukup aneh. Ibu saya bilang, malas di pijat si bapak itu lagi, habisnya dia kok punya istri dua. Loh… memang apa hubungannya yah… dia punya istri dua, dengan enak atau tidaknya pijatan dia? Ah, tapi ibu bilang, “ini kan cuma sekedar solidaritas sesama perempuan saja….” Yah sudahlah… bagaimana enaknya ibu saja….

Dari seorang teman kantor saya juga dapat informasi, ada tukang pijat dekat rumahnya. Dengan antusias saya kabari ibu, karena biasanya ibu selalu semangat mencoba pijatan tukang pijat yang baru.

ibu: dia bisa dipanggil ke rumah ngga?

saya: bisa lah bu, kata teman saya bisa. Tapi musti dijemput ke rumahnya, pulangnya juga harus dianterin

ibu: wahhh… ngga praktislah… enakan sama ibu anu, tinggal angkat telpon ngga nyampe setengah jam udah nyampe rumah..

(lagi-lagi…. bagaimana enaknya ibu saja lah….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar